DPRD Mabar Tolak Eksploitasi dalam Pariwisata

Pariwisata214 Dilihat

LABUANBAJOTODAY.COM, MABAR – Labuan Bajo sebagai ikon pariwisata Indonesia dan “Destinasi Super Prioritas”, ternyata menghadapi dampak negatif dari pengelolaan pariwisata yang terpusat.


Anggota DPRD Mabar, Kanisius Jehabut, menyoroti bahwa pembangunan hotel, kapal wisata, dan pelabuhan di area Taman Nasional Komodo (TNK) hingga pesisir justru menguntungkan investor, bukan masyarakat setempat. 

“Kami menerima tumpukan sampah, pencemaran laut, kemacetan, dan lonjakan harga tanah yang membuat masyarakat terpinggirkan,” ucapnya pada Jumat (11/4).

Ia menjelaskan bahwa UU No. 23 Tahun 2014 telah membatasi kewenangan daerah, menjadikan TNK dan kawasan pesisir sebagai tanggung jawab kementerian di Jakarta. 

Tidak ada pendapatan dari tiket masuk TNK atau izin operasional kapal wisata yang masuk ke kas Kabupaten Manggarai Barat, sementara risiko tetap ditanggung oleh pemerintah daerah.

“Kami menjadi penonton di tanah sendiri. Pemerintah daerah tidak memiliki wewenang untuk mengatur kuota kapal atau menarik retribusi, bahkan tidak bisa menolak pembangunan dermaga apung di terumbu karang. Ini merupakan bentuk baru kolonialisme yang mengeksploitasi sumber daya lokal atas nama pembangunan tanpa partisipasi masyarakat,” lanjutnya.


Lebih menyedihkan, peraturan yang seharusnya melindungi lingkungan malah digunakan untuk melegalkan kerusakan. UU No. 27 Tahun 2007 melarang pembangunan di wilayah sempadan pantai, kecuali untuk konservasi dan fasilitas publik. Namun, peraturan teknis seperti PP No. 21 Tahun 2021 dan Permen ATR/BPN No. 17 Tahun 2021 memberi celah bagi investor untuk membangun hotel dan resort dengan modal KKPRL dan AMDAL.

Kanisius juga menyatakan bahwa masyarakat adat Komodo kini kehilangan akses ke tanah leluhur yang terbagi untuk investasi. Mereka menghadapi kendala dalam mengakses kebun dan laut tanpa resiko perizinan, sementara kehidupan hewan komodo tidak terganggu. 

“Apa makna pembangunan jika masyarakat asli terpinggirkan dari tanah mereka sendiri? Apa arti konservasi jika hanya digunakan untuk membungkam masyarakat adat? Kami tidak menolak pariwisata, tetapi model pariwisata yang eksploitatif dan tidak adil,” tandasnya.


Sebagai solusi, Kanisius mengajukan beberapa usulan untuk dipahami pemerintah untuk memperhatikan prinsip perlindungan ekosistem di wilayah pesisir, mengatur distribusi pendapatan yang adil dari sektor pariwisata konservasi kepada kabupaten serta perlindungan hukum terhadap hak masyarakat adat dan masyarakat pesisir untuk mengakses laut dan tanah.

“Jika suara kami terus diabaikan, maka jangan salahkan rakyat jika akhirnya bergerak. Karena ketidakadilan, jika dibiarkan terlalu lama, akan berubah menjadi perlawanan,” Pungkasnya.


Well, Silahkan tulis pendapatnya di kolom komentar ya.