​Kisah Penjual Muslim di Depan Katedral Labuan Bajo

Bisnis, Kuliner194 Dilihat

​LABUANBAJOTODAY.COM, MABAR – Setiap Minggu pagi, ada pemandangan hangat yang menjadi simbol kerukunan sejati di Labuan Bajo. 


Tepat di depan Gereja Katedral Roh Kudus, Minggu (5/10/2025), beberapa ibu berhijab sibuk melayani pembeli di lapak kue sederhana. 

Meja kayu mereka penuh dengan aneka jajanan, seperti donat, kue cucur, geroncong, pisang goreng, kue isi kacang, dan masih banyak jenis kue lain.

Baca juga :Cerita UMKM Labuan Bajo yang Selalu Hadir di Setiap Festival

​Keramaian di lapak ini luar biasa. Banyak pembeli adalah umat Katolik yang baru saja keluar dari Misa pagi. Mereka sengaja mampir mencari sarapan hangat dari para pedagang Muslim ini.

​“Geroncong empat lima ribu, donat juga empat lima ribu,” kata Nurlima, salah satu penjual, sambil melayani pembeli. Ia sudah menyiapkan semua sejak sehari sebelumnya.

​“Mulai buat kue dari sore kemarin, lanjut sampai malam. Buka cuma hari Minggu, dari jam lima pagi sampai jam dua belas siang,” ujarnya. 

Baginya, pagi Minggu adalah waktu untuk menuai rezeki, terlepas dari siapa pembelinya.

​Di sampingnya, Ulta, penjual lain, ikut sibuk membungkus pesanan. Ia merasakan sendiri bagaimana toleransi itu hidup di sini.

​“Kami sudah lama jualan di sini. Pembelinya banyak yang baru selesai misa. Mereka ramah sekali,” tutur Ulta.

Baca juga : Inbisnis Property Tawarkan Layanan Satu Pintu untuk Bisnis dan Properti di Labuan Bajo

​Indahnya Toleransi Labuan Bajo 

​Pemandangan ini sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari suasana Labuan Bajo. Di depan rumah ibadah Katolik, para pedagang Muslim dengan tulus melayani. 

Tak ada jarak, tak ada sekat. Semua bertemu dalam suasana sederhana yang penuh kehangatan.

​“Kadang mereka pesan lebih banyak untuk dibawa pulang, kadang cuma beli satu dua biji sambil ngobrol dan tanya kabar,” tambah Nurlima.


Kisah di balik meja ini lebih dari sekadar jual beli. Ini adalah bukti nyata bahwa toleransi hidup dan berdenyut di Labuan Bajo. 

Di kota kecil yang terus tumbuh ini, rasa manis dari kue tradisional berpadu sempurna dengan indahnya persaudaraan.

​Di lapak Nurlima dan Ulta, aroma gorengan, tawa, dan salam pagi menyatu. Sebuah pengingat manis bahwa perbedaan bukan alasan untuk berjarak, tetapi ruang yang justru harus diisi dengan saling menghormati.

Well, Silahkan tulis pendapatya di kolom komentar ya.