Cerita Dibalik Izin Usaha di TNK

Pariwisata366 Dilihat

LABUANBAJOTODAY.COM, MABAR – Kepala Balai Taman Nasional Komodo (BTNK), Hendrikus Rani Siga, menjelaskan soal kehadiran berbagai pihak yang mendapat izin usaha wisata alam di kawasan konservasi Taman Nasional Komodo.


Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Kantor DPRD Manggarai Barat, Senin, 28 April 2025, Hendrikus menyatakan bahwa keberadaan perusahaan maupun koperasi di dalam Taman Nasional Komodo merupakan amanat dari regulasi pemerintah.

“Ada izin penyediaan jasa wisata alam dan izin penyediaan sarana wisata alam,” kata Hendrikus.

Baca juga :366 Property Hadirkan Standar Baru dalam Investasi Labuan Bajo

Ia menyebut, izin penyediaan jasa diberikan kepada beberapa koperasi seperti Komodo Citra Lestari di Loh Buaya, dan ada juga di Padar Selatan serta Loh Liang. Sedangkan secara perorangan, izin serupa dipegang oleh warga di Kampung Komodo dan Kampung Rinca.

Untuk penyediaan sarana wisata alam, Hendrikus merinci terdapat tiga perusahaan yang telah mengantongi izin, yakni PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE), PT Segara Komodo Lestari (SKL), dan PT Sinergindo Niagatama. 

“PT KWE dengan konsesi di Pulau Komodo seluas 151,94 hektare dan Padar Selatan 274,13 hektare, PT Segara Komodo Lestari  di Pulau Rinca seluas 22,1 hektar, serta PT Sinergindo Niagatama di Pulau Tatawa seluas 15,32 hektare,” katanya. 

Hendrikus menekankan, pemberian izin tersebut berlandaskan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Kawasan Konservasi. 

“Itu tidak hanya di Taman Nasional Komodo. Hampir semua taman nasional di Indonesia memberikan izin pengusahaan pariwisata,” ujarnya.

Baca juga :Gabung Sekarang! Open Trip Harian Menyenangkan di Labuan Bajo

Namun, ia mengakui bahwa isu di Taman Nasional Komodo menjadi sangat sensitif karena kawasan ini memiliki tiga status internasional: Warisan Alam Dunia (World Heritage Site), Cagar Biosfer (Man and Biosphere Reserve), dan masuk dalam daftar New7Wonders of Nature.

“Karena tiga status ini, pengawasan terhadap aktivitas pembangunan di TNK sangat ketat, termasuk oleh UNESCO,” kata Hendrikus.

Ia mengungkapkan bahwa untuk memenuhi standar UNESCO, semua aktivitas pembangunan harus melengkapi dokumen Kajian Lingkungan Strategis (Strategic Environmental Assessment) dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

Dalam kesempatan itu, Hendrikus juga menyinggung tentang skema perjanjian kerja sama (PKS) yang dijalankan Balai TNK dengan pihak ketiga, seperti Palma Hijau Cemerlang, untuk kegiatan seperti pengamanan kawasan, monitoring, hingga penyediaan sarana wisata seperti mooring buoy (penambatan kapal).

Baca juga :Liburan ke Labuan Bajo? Jangan Lewatkan 366 Lounge!

Menurut Hendrikus, kerap terjadi kekeliruan di publik dalam membedakan antara perusahaan yang beroperasi berdasarkan PKS dengan perusahaan yang mengantongi Izin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA).

“Kadang-kadang di media sosial itu dicampuradukkan,” katanya.


Meski regulasi memperbolehkan pemberian izin tersebut, Hendrikus mengakui adanya keberatan dari berbagai pihak, termasuk aktivis lingkungan dan pemerhati Taman Nasional Komodo. 

Ia menyebutkan telah menerima berbagai masukan dan kekhawatiran atas kemungkinan pembangunan sarana wisata di kawasan konservasi.

“Memang secara moral publik bisa keberatan. Tapi dari sisi aturan, itu dimungkinkan,” ujarnya.


Well, Silahkan tulis pendapatnya di kolom komentar ya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *